Global Nature Conservation School, Edukasi untuk Menjaga Kelestarian Bekantan di Kalimantan Selatan

Sewaktu saya masih kecil dulu, kami kerap mengunjungi rumah almarhum kakek dan nenek yang berlokasi di Desa Aluh-aluh. Di masa itu, untuk bisa mencapai kediaman almarhum kakek dan nenek ini hanya bisa ditempuh dengan menggunakan klotok mesin atau perahu air. Biasanya saya dan orang tua akan dijemput di sungai dekat rumah untuk melanjutkan perjalanan menyusuri sungai Martapura menuju desa Aluh-aluh yang akan kami tuju.

Perjalanan menuju desa Aluh-aluh kecil ini sendiri memakan waktu kurang lebih 2 jam. Nah, dalam perjalanan susur sungai ini kami melewati sebuah pulau yang lokasinya tak jauh dari muara Aluh-aluh yakni Pulau Kaget yang dulunya dikenal sebagai pulau tempat tinggal para bekantan yang merupakan primata asli Kalimantan Selatan. Jika cukup beruntung, saya mungkin bisa melihat para bekantan ini bergelantungan di atas pohon rambai. Sayangnya sekarang saya sudah tak bisa lagi melihat pemandangan ini karena untuk bisa ke Desa Aluh-aluh sekarang sudah bisa menggunakan jalur darat.

Bekantan, Primata Mancung Maskot Kalimantan Selatan



Setiap daerah biasanya memiliki binatang khasnya masing-masing. Jika Nusa Tenggara memiliki komodo sebagai binatang khasnya, Papua memiliki burung cendrawasih, Lampung dengan gajahnya, Kalimantan Tengah dengan orang utan, maka Kalimantan Selatan memiliki bekantan sebagai binatang khas dan bahkan menjadi maskot provinsi Kalimantan Selatan.

Bekantan (Nasalis Narvatus) sendiri adalah jenis primata dengan rambut berwarna coklat kemerahan dengan ciri khasnya hidung yang panjang. Bekantan biasanya ditemukan di area hutan mangrove atau rawa di Kalimantan Selatan seperti di Pulau Kaget yang saya sebutkan di atas. Selain di Pulau Kaget, bekantan juga bisa ditemukan di kawasan konservasi Pulau Curiak di Kabupaten Barito Kuala.

Bekantan sendiri memiliki sebuah mitos asal usulnya sendiri bagi masyarakat Banjar. Binatang yang kerap disebut monyet Belanda ini konon merupakan merupakan perwujudan dari para penjajah Belanda di masa penjajahan. Dalam sebuah kisah diceritakan para penjajah Belanda menyerang kerajaan Banjar. Berkat pertolongan Allah swt, kapal yang ditumpangi oleh pasukan Belanda tenggelam bersama awak kapalnya. Tak lama kapal yang tenggelam tersebut kemudian membentuk sebuah pulau dan di pulau tersebut kemudian bermunculan monyet-monyet dengan hidung mancung layaknya para prajurit Belanda. Begitulah mitos yang turun-temurun diceritakan terkait binatang khas Kalimantan Selatan ini.


Global Nature Conservation School, Sekolah Konservasi untuk Pelestarian Bekantan di Kalimantan Selatan



Layaknya hewan endemik lain di Indonesia, bekantan termasuk dalam satwa yang dilindungi karena keberadaannya yang semakin berkurang. Untuk bisa terus melestarikan habitat bekantan, pihak provinsi Kalimantan Selatan melakukan berbagai cara termasuk dengan menjadikan Pulau Kaget sebagai kawasan suaka untuk primata tersebut. Tak hanya dari pemerintah, upaya untuk terus melindungi bekantan ini juga hadir dari sosok wanita muda yang karena kecintaannya pada bekantan akhirnya mendirikan yayasan yang bertujuan untuk melakukan konservasi terhadap bekantan.

Adalah Dr. Amalia Rezeki, S.Pd., M.Pd., seorang sarjana dan dosen Pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat yang karena kepeduliaannya akan bekantan akhirnya mendirikan Yayasan Bekantan Indonesia di tahun 2013. Tak cukup sampai di situ, Amalia bahkan melakukan penggalangan dana untuk bisa membeli Pulau Curiak di Kabupaten Barito Kuala dan menjadikannya pusat konservasi bekantan. Pusat konservasi ini diresmikan pada 5 Juni 2018 dan dikelola oleh Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia.

bekantan.org

Pulau Curiak sendiri sebelumnya merupakan endapan lumpur yang terletak di delta Sungai Barito di Kecamatan Anjir Muara Kabupaten Barito Kuala. Tim Sahabat Bekantan Indonesia menemukan 14 bekantan di pulau ini. Untuk bisa melindungi para bekantan ini, tim Sahabat Bekantan Indonesia akhirnya memutuskan untuk membeli lahan di Pulau Curiak yang sebelumnya dimiliki oleh pihak swasta. Berkat upaya dari tim Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia, kini jumlah bekantan di pulau Curiak sudah meningkat 100% dari yang sebelumnya hanya berjumlah 14 ekor di tahun 2014 menjadi 42 ekor di tahun 2023.

Selain melakukan konservasi terhadap bekantan dan pembelian Pulau Curiak, Yayasan Sahabat Bekantan juga melakukan berbagai program lain salah satunya berupa program edukasi dengan mendirikan Global Nature Conservation School yang merupakan sekolah berbasis konservasi yang bisa diikuti berbagai kalangan. Global Nature Conservation School ini didirikan pada tahun 2016 dengan Napisah sebagai kepala sekolahnya.

Dalam kegiatannya, Global Nature Conservation School melakukan edukasi terkait konservasi bekantan dengan cara mengunjungi sekolah-sekolah hingga mengajak para pesertanya untuk turun langsung ke habitat para bekantan di Pusat Observasi Pulau Curiak untuk mengenalkan pada ekosistem hutan mangrove. Di Pulau Curiak ini peserta juga diajak untuk melakukan observasi bekantan, juga penanaman bibit pohon mangrove rambai hingga juga melakukan pengambilan sampah yang terdapat di sungai sekitar pulau.

Sejak dibukanya pusat observasi Pulau Curiak ini, sudah ada 19 Universitas dari berbagai wilayah di Indonesia yang datang untuk mengikuti berbagai rangkaian kegiatan yang dilakukan Global Nature Conservation School ini. Bahkan setiap tahunnya, para mahasiswa dari Universitas Newcastle Australia secara rutin datang ke Pulau Curiak untuk mengikuti kegiatan di sana. Tak hanya para ma Kegiatan di Pulau Curiak ini bisa berlangsung sehari atau bahkan 3 hari tergantung kesepakatan peserta.

Untuk bisa datang ke Pulau Curiak ini pengunjung bisa datang lewat darat lewat bawah jembatan Barito, mengikuti wisata susur sungai dari Siring Kota Banjarmasin atau bisa juga lewat program Bekantan Ecotour yang dimiliki Sahabat Bekantan Indonesia. Tentunya untuk mengikuti kegiatan di Pulau Curiak ini ada biaya yang harus dikeluarkan tentunya digunakan untuk peserta dan operasional dari kegiatan tersebut.

Apakah dalam program ini peserta bisa memdekati bekantan secara langsung? Sayangnya tidak karena bekantan adalah binatang yang pemalu dan rentan stress. Karena itu, pengunjung biasanya hanya bisa melihat bekantan dari jarak yang sudah ditentukan oleh pihak pengelola konservasi.

Tak hanya berfokus pada pelestarian bekantan dan juga ekosistemnya, Global Nature Conservation School juga memiliki program lain yang bertujuan untuk memberdayakan para warga di sekitar Pulau Curiak ini. Berbagai pelatihan telah dilakukan seperti pelatihan membuat sirup rambai, pengolahan ikan bilis dan juga seluang hingga membuat sabun dari eceng gondok untuk cuci motor. Para penduduk juga diberikan pelatihan pemandu wisata agar bisa memberikan pelayanan terbaik bagi para pengunjung Pulau Curiak.

Atas dedikasi dan kontribusi mereka berbagai penghargaan telah diteriman oleh Yayasan Sahabat Bekantan termasuk dianugerahinya Globel Nature Conservation School penghargaan SATU Indonesia Award Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2023 dari PT. Astra International, Tbk. 


Sumber tulisan:
  
https://greennetwork.id/kabar/kerja-keras-sbi-selamatkan-bekantan-dan-habitatnya/
https://open.noice.id/content/917ef3ee-b1b5-4e59-a7b4-4a3c2a9e4ada
 
Baca Juga
Reactions

Post a Comment

3 Comments

  1. Beli pulau untuk kawasan konservasi benar-benar ide yang brilian. Apalagi untuk perlindungan bagi hewan asli bahkan maskotnya Kalimantan Selatan. Keren sih Dr. Amalia ini.

    ReplyDelete
  2. keren yaaa dapat penghargaan dari yayasan bekantan. Aku baru tahu kalau nama oulau yang dibawah jembatan barito ini pulau curiak

    ReplyDelete
  3. Awas dikencingi, Bahayaa ... Wkekekeke

    ReplyDelete