|
sumber gambar : https://news.okezone.com
|
Bulu tangkis merupakan salah satu olahraga kebanggaan Indonesia. Olahraga satu ini banyak menyumbangkan medali bagi Indonesia di berbagai ajang internasional termasuk Olimpiade. Nama-nama atletnya pun sangat familiar di telinga kita. Di tahun 70 hingga 80-an kita mengenal nama seperti Rudi Hartono dan Lim Swie King sebagai Raja bulutangkis Indonesia. Sedang di tahun 90-an nama Susi Susanti, Alan Budikusuma, Ricky Subajga dan Rexy Mainaki merupakan para jagoan di lapangan yang berhasil mempersembahkan emas bagi Indonesia di Olimpiade.
Saya sendiri termasuk generasi yang masih sempat menyaksikan bagaimana bulu tangkis Indonesia berada di atas puncak kejayaannya. Kala itu saya masih duduk di bangku SD saat tim Indonesia berhasil memenangkan piala Thomas dan piala Uber sekaligus di tahun 1994. Saya juga turut bersorak saat Ricky dan Rexy memenangkan emas di Olimpiade Atlanta tahun 1996. Meski hanya bisa menyaksikan dari depan televisi, tentunya tak mengurangi keseruan saya menikmati pertandingan bulu tangkis di masa itu.
Sayangnya seiring berjalannya waktu, kesukaan saya untuk menonton pertandingan olahraga semakin berkurang. Mungkin karena semakin ke sini, saya juga semakin jarang menonton televisi. Terakhir kali saya menonton pertandingan bulu tangkis kalau tidak salah saat Asian Games yang diadakan di Jakarta dan Palembang tahun 2018 lalu saat Jonathan Christie berhasil meraih emas.
Review film Susi Susanti, Love All
Bicara soal bulu tangkis, pastinya semua setuju kalau nama Susi Susanti merupakan salah
satu legenda hidup di Indonesia. Deretan prestasi mulai dari piala Sudirman, piala
Uber hingga prestasi tertingginya meraih medali emas pertama untuk
Indonesia dalam olimpiade Barcelona tahun 1992 membuat Susi Susanti
layak disebut sebagai pahlawan Indonesia dalam bidang olahraga. Selain itu, Susi Susanti juga memiliki kisah cinta yang layak untuk dijadikan cerita dalam sebuah film.
Di tahun 2019 kemarin, akhirnya film biopic Susi Susanti hadir di bioskop Indonesia. Film Susi Susanti, Love All ini diproduseri oleh Daniel Mananta dan Reza Hidayat, disutradarai Sim F. dengan pemeran utama Laura Basuki sebagai Susi Susanti dan Dion Wiyoko sebagai Alan Budi Kusuma.
Cerita dimulai dari acara 17-an, di mana Susi yang seharusnya bertanding balet malah bermain bulu tangkis menggantikan sang kakak yang kalah di pertandingan tersebut. Meski bertanding dengan kostum balet, nyatanya Susi berhasil mengalahkan lawannya dengan mudah. Tak lama, panggilan dari klub bulu tangkis Rudi Hartono datang untuk Susi. Dengan diantar sang ayah, Susi pun berangkat dari Tasik menuju Jakarta untuk menjalani pelatihan.
Tak perlu waktu lama bagi Susi Susanti untuk bersinar. Dengan bakat dan latihan keras yang dijalaninya, Susi berhasil memenangkan berbagai kejuaraan dan dipanggil untuk masuk Pelatnas. Di Pelatnas ini Susi bertemu dengan sesama atlet bulu tangkis seperti Sarwendah, Ardi B. Wiranata dan tentunya Alan Budikusuma yang kelak menjadi suaminya.
Di lain pihak, untuk bisa menggenjot prestasi bulu tangkis Indonesia, PBSI memutuskan memanggil kembali atlet dari Indonesia yang harus pindah ke Cina setelah masa pemberontakan PKI, yakni Tong Sin Fu dan Liang Tjiu Sia. Sayangnya meski tinggal dan mengabdikan diri untuk Indonesia, para pelatih ini tak memiliki kejelasan nasib perihal kewarganegaraan mereka. Tentunya hal ini menjadi sebuah ironi tersendiri bagi para pelatih tersebut mengingat mereka lahir di Indonesia.
Susi Susanti sendiri dengan gemblengan pelatih Tong Sin Fu dan Liang Tjiu Sia berhasil menyumbangkan medali emas pertama untuk Indonesia di Olimpiade Barcelona tahun 1992. Prestasi ini semakin manis karena tak lama sang kekasih Alan Budikusuma juga memenangkan partai final melawan Ardi B. Wiranata. Kemenangan dua sejoli ini membuat keduanya dijuluki sebagai "Pengantin Olimpiade."
Usai memenangkan medali olimpiade, Susi dan Alan mulai merencanakan pernikahan mereka. Sayangnya rencana pernikahan ini terhalang kendala status kewarganegaraan mereka yang belum resmi sebagai warga negara Indonesia. Seperti yang diketahui, di masa orde baru para WNI keturunan tidak bisa mendapatkan status WNI dan hanya bisa memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan RI yang prosesnya sangat rumit. Bahkan meski berhasil menyumbangkan emas bagi Indonesia tak membuat urusan kewarganegaraan ini menjadi mudah bagi Susi dan Alan. Kekecewaan akan sulitnya birokrasi akhirnya ditumpahkan Susi dalam sebuah wawancara jelang keberangkatan mereka di Olimpiade Atlanta.
Tahun 1998, Indonesia kembali menghadapi masa kelam dengan terjadinya demo mahasiswa yang mengakibatkan banyak warga keturunan Tionghoa diserang oleh warga. Sebagai atlet keturunan Tionghoa, peristiwa ini turut berpengaruh pada Susi Susanti dan tim Indonesia yang saat itu akan bertanding di piala Thomas dan Uber di Hongkong. Dengan adanya peristiwa ini, wartawan pun kemudian bertanya tentang jati diri seorang Susi Susanti. Apakah Susi masih menganggap dirinya sebagai seorang Indonesia?
Kesan setelah menonton film Susi Susanti Love All
Sebagai sebuah film biopic dengan tema olahraga, jujur saya merasa kurang puas dengan film Susi Susanti yang digarap oleh ini. Kenapa kurang puas? Karena dalam film ini lebih menyoroti isu diskriminasi yang dialami oleh Susi Susanti dan pebulutangkis keturunan lain di masa Orde Baru dan bukannya cerita jatuh bangun Susi dalam menjalani karirnya sebagai pebulutangkis Indonesia di tahun 90-an. Bagi saya ini berarti film ini memiliki muatan politik.
Meski begitu, tentunya sebagai sebuah film, Susi Susanti Love All, memberikan pengetahuan baru bagi saya. Seperti yang saya tuliskan di atas, saya masih berusia belasan tahun ketika Susi Susanti memenangkan emas Olimpiade. Di masa itu, saya bahkan tidak tahu apa-apa tentang SBKRI dan saya juga bahkan tidak tahu adanya insiden Susi Susanti karena tak menonton berita. Melalui film mata saya jadi lebih terbuka tentang bagaimana seorang pahlawan olahraga di negeri ini ternyata mendapat diskriminasi.
Dari segi akting pemainnya sendiri, Laura Basuki memerankan sosok Susi Susanti dengan sangat baik. Bahasa tubuh dan gaya bermain bulu tangkis yang diperlihatkannya di film sangat mirip dengan gaya khas Susi Susanti. Karena itu tak heran jika aktingnya ini diganjar Piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik di FFI tahun 2020. Selain Susi Susanti, para tokoh pendukung juga bermain dengan baik. Yang paling menarik perhatian saya adalah Kely Tandiono yang memerankan Sarwendah.
Di masa kini, prestasi bulu tangkis Indonesia mungkin tak sementereng di era 90-an saat Susi Susanti dan atlet lainnya masih berjaya. Namun tentunya olahraga yang satu ini tetap dicintai dan menjadi salah satu ujung tombak dari olahraga kebanggaan Indonesia.
Baca Juga
12 Comments
Sudah beberapa kali baca review film ini. Memang rata-rata kurang puas. Tapi sbg penyuka bulu tangkis saya masih ingin menonton film ini 😁
ReplyDeleteiya kayaknya memang banyak yang kurang puas ya sama film ini.
Deleteselamat menonton yaa
ReplyDeleteFilm yang mengispirasi sekali dan pengen nonton juga tapi karena suasana pandemi jadi bersabar dulu
ReplyDeleteLaura Basuki dan Dion Wiyoko emang chemistry-nya bukan kaleng2
ReplyDeletemereka selalu cocok kalo dipasangkan yaa
pilem ini keren banget, inspiring abis!
Laura Basuki memang jempolan aktingnya, pas banget meranin Susi Susanti. Belum nonton film ini, tapi jadi tahu ternyata filmnya ga banyak menyorot karier profesional Susi ya. Semoga ada lebih banyak film biopik atlet Indonesia.
DeleteLaura Basuki memang jempolan aktingnya, pas banget meranin Susi Susanti. Belum nonton film ini, tapi jadi tahu ternyata filmnya ga banyak menyorot karier profesional Susi ya. Semoga ada lebih banyak film biopik atlet Indonesia yang lain.
ReplyDeleteAku ingat dulu waktu kecil olahraga yang hits ya bulu tangkis. Bisa tuh sore-sore main sama sodara pakai raket kayu. Untuk film ini, aku belum nonton. Emang jarang nonton film biopic sih. Entah mengapa, kadang kudu nyiapin batin sama kisah nyata
ReplyDeleteWalah..kalau memang ini film tentang politik, saya malah lebih bersemangat untuk nonton! Diskriminasi memang isu yang kudu diangkat terus-menerus di negara Indonesia, dan media film adalah media yang cocok untuk mengangkat isu itu :)
ReplyDeletePemilihan pemerannya uda paling tepat yaa..
ReplyDeleteKarena yang perlu diperhatikan memang etnis. Aku juga pernah niih...ada pada di zaman ketika bulu tangkis menjadi idola di mana-mana.
Saya baru tahu kalau awalnya susi susanti justru pebalet. Seru juga ya, perjalanannya..banyak liku-likunya
ReplyDeletejujur, kadang aku bingung dg org2 yg merasa jd korban diskriminasi di indonesia. dr lahir sampe skrg, tinggal di sana sini, yg kurasa justru org indo itu lebih jahat ke body shaming, gak mayor gak minor jahatnya di situ. gak pernah ada cina yg dijauhi krn cinanya, aku gak pernah ketemu sama sekali
ReplyDelete