Salah satu program bulanan yang diadakan komunitas Female Blogger Banjarmasin adalah blogging collab yang ditentukan temanya setiap bulannya. Nah, jika untuk tema bulan lalu adalah All About Korea, maka untuk bulan Februari ini temanya adalah Kisah Romantis. Nah, untuk collab kali ini, saya akan memposting sebuah cerpen yang pernah saya tulis sekitar tahun 2013 lalu. Cerpen ini sempat diikutkan sebuah seleksi namun gagal terpilih. Happy reading!
***
AKU DAN PEMBURU HUJAN
“Aku adalah Pemburu Hujan!”
Begitulah pertama kalinya Rian memperkenalkan dirinya padaku. Di sebuah
halte bis, saat hujan lebat sedang melanda. Tak ada yang istimewa dari
penampilan fisiknya. Tingginya rata-rata, kulitnya sawo matang. Pakaiannya kala
itu adalah setelan kemeja putih –yang sedikit basah- dengan celana kain hitam
sebagai pasangannya. Rambutnya tersisir rapi. Dia tak membawa apa-apa kecuali
sebuah kamera saku di tangannya. Dan hal itulah yang menyebabkan aku akhirnya
terlibat percakapan dengannya.
“Kau memotretku?” tanyaku kala itu ketika terdengar sebuah suara dari
sampingku. Saat ku berpaling, kulihat seorang pemuda dengan usia sekitar awal
dua puluhan sedang memegang kamera saku miliknya. Matanya tampak memandang foto
yang baru saja diambilnya beberapa detik sebelumnya. Fotoku.
“Iya,” jawab si pemuda pendek.
“Tapi kenapa?” tanyaku lagi.
“Umm… karena kau terlihat berbeda,” jawab pemuda itu sambil memandang ke
arah kamera di tangannya kembali.
“Berbeda? Maksudnya?”
“Aku tak bisa menjelaskannya. Yang jelas kau terlihat berbeda.”
Aku hanya mengerutkan dahi mendengar jawaban pemuda itu, menagih jawaban
yang lebih rasional.
Sadar akan maksudku, pemuda itu kemudian berkata lagi, “Mungkin kau harus
melihat sendiri fotomu.”
“Apakah harus?”
“Tentu saja. Dengan begitu kau akan tahu mengapa aku tadi mengambil
gambarmu.”
Pemuda itu kemudian menyerahkan kamera sakunya padaku. “Di situ juga ada
foto-foto hujan yang lain. Kau boleh melihatnya kalau kau mau,” katanya setelah
kamera berada di tanganku.
Awalnya aku tak berniat untuk melihat foto-fotonya yang lain. Namun begitu
kulihat sendiri hasil tangkapan wajahku di kamera kecil miliknya itu, tanpa
sadar kusadari tanganku bergerak, menekan tombol yang ada di kamera tersebut.
Seolah-olah ingin membongkar semua memori kamera tesebut.
“Foto-foto hujan ini… indah sekali,” ucapku kemudian. Dan begitu aku
memandang wajahnya, tampak senyum puas di wajah Rian.
***
Sewaktu kecil, ayah selalu mengatakan bahwa aku tergila-gila pada hujan.
Katanya, setiap kali hujan turun aku akan bernyanyi-nyanyi dengan gembira. Jika
hujannya cukup lebat, biasanya aku akan memohon-mohon pada ayah dan ibu agar
diijinkan bermain-main bersama hujan. Mulanya mereka akan menolak permintaanku
tersebut. Wajar saja, bukan? Membiarkan gadis kecil mereka bermandi hujan sama
artinya dengan mengirimkan penyakit padanya. Namun karena aku selalu
merengek-rengek, pada akhirnya ayah dan ibu selalu mengalah. Akhirnya aku
dibiarkan bermain-main di bawah air hujan, dengan jas hujan menutupi tubuh dan
kepalaku.
Beberapa tahun berselang, kecintaanku
pada hujan tersebut kemudian lenyap seketika. Aku ingat
waktu itu aku masih berusia tujuh tahun. Aku bersama ibu sedang dalam
perjalanan menuju rumah nenek di kota sebelah. Saat itu ayah tak bisa ikut
karena harus dinas ke luar kota. Karena tak ada yang bisa mengemudikan mobil,
maka ibu pun memutuskan untuk naik angkutan luar kota, tentunya setelah
mendapat izin dari ayah.
Hujan lebat mengiringi perjalanan kami menuju rumah nenek. Pada pak sopir,
ibu yang menemaniku duduk di depan berusaha mengingatkanya untuk berhati-hati. Derasnya
butiran hujan membuat pemandangan menjadi kabur, begitu alasan ibuku kala itu. Namun
sang sopir, yang merasa sangat berpengalaman tidak mengindahkan permintaan ibuku.
Dengan seenaknya ia memacu mobil dengan kecepatan penuh.
Lalu, tepat di sebuah tikungan meluncurlah sebuah mobil dari arah
berlawanan. Kondisi jalan yang kabur karena hujan membuat Pak Sopir terlambat
menyadari kehadiran mobil tersebut. Tepat saat mobil kami akan bertabrakan Pak
Sopir membanting setirnya. Kami selamat dari tabrakan maut. Sebagai gantinya,
mobil yang kami tumpangi menabrak sebuah kios di pinggir jalan. Beberapa
penumpang tewas dalam kejadian tersebut. Salah satunya adalah ibuku.
***
“Jadi setelah kejadian itu kau membenci hujan?” tanya Rian ketika akhirnya
aku mengungkapkan cerita itu padanya. Saat ini aku dan dia sedang berada di Coffelatte,
sebuah kedai kopi yang terletak tak jauh dari halte tempat aku berkenalan
dengannya. Ini adalah pertemuan kami yang ke lima. Dan bisa dibilang saat ini
kami sudah menjadi teman yang cukup akrab.
“Aku tak bisa mengatakan aku membenci hujan. Aku masih mencintainya. Hanya
saja aku tak bisa lagi berinteraksi dengannya seperti dulu lagi,” jawabku pada
Rian.
Semenjak kejadian hari itu perubahan besar memang terjadi pada diriku. Efek
trauma kecelakaan serta kehilangan ibu membuatku tak bisa lagi mencintai hujan
seperti sebelumnya. Bahkan sempat ada masa di mana aku begitu takut pada hujan.
Aku akan berteriak histeris ketika tetes pertama hujan turun. Tubuhku juga menggigil
begitu hebat jika tanpa sengaja air hujan mengenai tubuhku. Perlu waktu
berbulan-bulan bagiku untuk bisa lepas dari segala trauma tersebut. Bahkan
hingga hari ini, aku selalu enggan bepergian di saat hujan, kecuali terpaksa
tentunya.
“Hmm… kurasa itulah yang membuat ekspresimu terlihat sangat berbeda hari
itu. Kau mencintai sesuatu, namun kau tak bisa berdekatan dengannya. Pasti
sangat menyiksa.”
Aku hanya tersenyum mendengar simpulan yang dibuat Rian atas ceritaku itu. Kuraih
secangkir coklat hangat yang kupesan tiga puluh menit yang lalu dan menyesap
isinya. Sudah dingin, namun manisnya tetap menyegarkan tenggorokanku. Di luar
kedai, tampai rintik hujan masih menemani percakapan kami.
“Yah, mungkin juga begitu,” kataku kemudian.
***
Aku tak tahu apa yang membuatku bisa bercerita begitu banyak pada Rian.
Setelah pertemuan pertama kami di halte itu, sebenarnya aku tak terlalu
berharap akan bertemu dengannya lagi. Bahkan hari itu kami berpisah tanpa
mengetahui nama masing-masing. Padaku Rian hanya menyebutkan dirinya sebagai
seorang Pemburu Hujan. Dan aku, demi mendengar sebutan tersebut hanya mengerutkan
kening dan langsung berlalu meninggalkannya.
Pertemuan kedua kami terjadi beberapa hari kemudian, di halte yang sama,
juga dengan kondisi yang sama. Bedanya kali ini Rian mengenakan kemeja berwarna
biru tua, dengan nametag di dada
kirinya.
“Kau mengikutiku?” tanyaku saat menyadari kehadiran Rian di dekatku.
Lagi-lagi ia mengambil fotoku tanpa seizinku.
“Ya dan tidak.”
Aku lagi-lagi hanya bisa mengerutkan kening. Pemuda ini gemar berteka-teki,
kataku dalam hati.
“Kau lihat kedai kopi di sana?” Rian berkata lagi sambil tangannya menunjuk
ke arah sebuah kedai kopi yang terletak hanya beberapa puluh meter dari tempat
kami berdiri sekarang. Aku menganggukkan kepalaku.
“Sejak minggu lalu aku diterima bekerja di sana. Part time. Aku perlu tambahan uang untuk membeli kamera
profesional,” Rian melanjutkan penjelasannya.
“Kurasa foto-foto milikmu sudah sangat bagus. Kenapa harus membeli kamera
profesional?” tanyaku lagi. Masih jelas kuingat foto-foto yang kulihat di
kamera Rian hari itu. Tiga buah fotoku dengan angle yang berbeda. Sisanya foto-foto lain yang semua bertema
hujan. Dan semuanya benar-benar bagus untuk ukuran sebuah kamera saku.
“Kalau aku bisa membeli kamera profesional, aku bisa menghasilkan uang. Aku
berencana membuka usaha fotografi. Jadi kurasa modal awal yang harus kumiliki
adalah sebuah kamera profesional. Bukan begitu?”
Aku menganggukkan kepala tanda setuju dengan pemikirannya.
“Kau sendiri, kutebak kurasa kau bekerja dekat sini. Iya, kan?” Kali ini
giliran Rian yang bertanya padaku.
“Benar. Kantorku berada salah satu lantai di gedung itu,” kataku sambil
menunjukkan arah kantorku pada Rian. Dia hanya manggut-manggut sambil memandang
ke arah yang kutunjukkan.
“Kau tahu, gara-gara memotret wajahmu kala itu aku hampir dipecat dari
pekerjaannku,” katanya lagi.
“Benarkah?”
Rian menganggukkan kepalanya. Dia kemudian menceritakan bagaimana kisah di
balik pertemuan pertama kami. Hari itu, rupanya merupakan hari pertama Rian
bekerja di kedai kopi itu. Masih dalam masa percobaan, dan masih lima belas
menit jelang jam istirahatnya. Saat sedang menunggu pesanan seorang pengunjung,
Rian, yang posisinya tepat menghadap jalan tanpa sengaja melihatku yang sedang
menunggu bus di halte.
“Saat itu aku benar-benar tak terpikir soal pekerjaanku. Yang kutahu, momen
yang kulihat sangatlah berharga. Jadi kuputuskan untuk meninggalkan pengunjung
tersebut dan berlari ke arahmu. Tak akan makan waktu lebih dari 5 menit, takkan
ada yang tahu. Begitu pikirku kala itu.”
Sayangnya Rian salah perhitungan. Kenyataannya, Rian menghabiskan dua menit
untuk bisa tiba di sampingku, dua menit untuk bisa mendapatkan ekspresi terbaik
wajahku, satu menit tak terduga untuk melayani pertanyaanku, dan dua menit lagi
untuk kembali ke kedai. Semuanya tujuh menit.
“Begitu aku kembali ke kedai, sebuah pesan disampaikan kepadaku. Bos
menunggu di atas, begitu bunyi pesan tersebut. Dengan perasaan tak karuan aku pun
menemui bos di ruangannya. Perlu waktu tiga puluh menit bagiku untuk meyakinkan
bos agar tidak memecatku di hari pertamanya bekerja. Bos akhirnya setuju. Namun
sebagai gantinya, aku tidak akan mendapatkan gaji di bulan akhir bulan nanti.”
“Lalu bagaimana dengan sekarang? Apa kau tidak takut dipanggil bos lagi
karena meninggalkan kedai di jam kerja?”
“Sekarang sudah jam istirahat. Jadi aku tak perlu takut dipanggil lagi.”
“Ooo. Tapi sayang sekali, ya, kau harus kehilangan gajimu. Padahal aku
berencana untuk menagih pembayaran atas foto hari itu,” kataku lagi. Bercanda
tentu saja.
Mendengar kata-kataku, Rian tertawa lebar. “Haha. kau bisa mampir ke kedai
kalau kau mau. Aku akan mentraktirmu,” ujarnya kemudian.
“Benarkah?”
“Tentu saja. Cari saja aku kalau kau sudah berada di sana.”
“Baiklah. Oya, ngomong-ngomong namaku Shenna.”
“Aku Rian.”
“Aku tahu,” jawabku lagi sambil tersenyum.
***
“Mau ke mana, Shenna?” spontan ayahku bertanya ketika melihatku keluar dari
kamar dengan pakaian rapi. Ini hari Sabtu. Biasanya aku tak pernah ke luar
rumah di hari Sabtu.
“Ada janji sama teman, Pa,” jawabku singkat sembari mengambil sepatu keds dari
lemari sepatuku.
“Tapi harinya mendung lho, Na,” ayahku berkata lagi.
“Iya, Pa. Shenna sudah bawa payung dan jas hujan,” jawabku lagi sambil
menunjukkan tasku yang terihat penuh.
“Perlu papa antar?” ayahku bertanya lagi.
“Nggak usah, Pa. nanti Shenna naik ojek aja. Shenna berangkat dulu ya, Pa. takut
terlambat.”
Tanpa menunggu jawaban ayah, aku pun langsung melesat menuju pintu.
Ini semua ide Rian. Kemarin, saat aku menemuinya di kedai, dia berkata
padaku, “Kau tahu, Shenna? Besok aku kerja setengah hari. Dan aku berencana memburu
hujan. Kau mau ikut?”
Seharusnya aku berkata tidak kala itu. Bepergian di kala hujan masih hal
yang selalu kuhindari hingga saat ini. Namun entah mengapa di luar kontrolku
aku malah memberikan jawaban “Iya.” Dengan penuh semangat pula. Jadilah saat
ini aku dengan segala perlengkapan anti hujan yang kumiliki berjalan menuju pos
ojek di depan komplek.
Sesuai perjanjian, aku akan bertemu dengan Rian di halte 28. Untuk mencapai
ke sana aku harus naik ojek terlebih dahulu selama kurang lebih 5 menit. Saat
aku tiba di halte 28, tampak Rian sudah duduk di bangku yang disediakan di halte
tersebut. Hari ini dia mengenakan kaos oblong berwarna merah terang lengkap
dengan celana jeans-nya. Tas ransel tampak menggantung di punggungnya. Sedang tangannya
kini sedang mengutak-atik sebuah kamera profesional. Melihat hal tersebut, mau
tak mau aku langsung bertanya.
“Kau sudah mendapatkan kamera yang kau inginkan?”
Mendengar suaraku, Rian lansung mengalihkan pandangannya dan tersenyum.
“Seseorang berbaik hati meminjamkan kamera ini padaku,” jawabnya sambil
menggeser tubuhnya ke kanan. Memberikan ruang duduk untukku.
“Kau terlihat berbeda hari ini,” Rian berkata lagi saat aku menempati ruang
yang diberikannya untukku. Saat mengucapkan kalimat tersebut tangannya sudah
kembali sibuk dengan kamera yang dipegangnya. Seolah-olah menghindari
tatapanku.
Aku mengulum senyum melihat tingkahnya ini. Kuperhatikan lagi pakaian yang
kukenakan hari ini. Tak ada yang istimewa kalau menurutku. Aku hanya mengenakan
sweater warna pink pucat sebagai atasan dan skinny jeans berwarna biru gelap.
Rambut sebahuku kuikat ekor kuda. Sedang untuk tas, karena aku harus membawa
payung dan jas hujan kuputuskan untuk mengenakan tas ransel.
Ada satu hal yang kupelajari dari Rian setelah berteman dengannya. Jika
Rian sudah berkata bahwa sesuatu terlihat berbeda, maka itu berarti dia sedang
memuji hal tersebut. Seperti pertemuan pertama kami, di mana ia berkata bahwa
ekspresiku terlihat berbeda saat menatap hujan. Selain itu, beberapa kali juga
ia mengucapkan kata berbeda pada berbagai objek menarik yang ia lihat saat kami
bercakap-cakap di kedai tempatnya bekerja. Karena itulah kali ini aku yakin
kalau saat ini pun dia sedang memujiku.
“Oya? Berbeda yang seperti apa?” tanyaku dengan nada penasaran. Tubuhku
kuhadapkan ke arah Rian yang masih sibuk dengan kamera di tangannya.
Perlu waktu beberapa detik hingga akhirnya Rian mau memberikan jawabannya.
“Kau terlihat seperti berusia awal dua puluhan.”
Mendengar jawaban yang diberikannya, sebuah pertanyaan muncul di kepalaku.
“Memangnya... menurutmu umurku berapa?” tanyaku kemudian.
“Sekitar dua puluh sembilan?”
Astaga! Jadi selama ini Rian mengira umurku dua puluh sembilan tahun? Memang
sejak awal pertemanan kami, baik aku maupun Rian sudah tahu bahwa aku lebih tua
darinya. Namun yang tidak kusangka, Rian ternyanta menganggap aku setua itu.
Dua puluh sembilan tahun? Ya Tuhaaan!
“Dengar ya, Rian. Sebagai info, usiaku memang masih dua puluhan. Dua puluh
tiga,” ungkapku akhirnya. Sengaja kutekankan pengucapan dua puluh tiga di
hadapannya.
“Benarkah? Ah, ternyata selama ini aku salah.”
Memang salah, timpalku dalam hati.
“Kurasa make up itu yang
membuatmu terlihat lebih tua,” Rian berkata lagi.
Begitu rupanya. Selama ini aku memang selalu menemui Rian dengan kondisi
wajah masih mengenakan make up.
Biasanya aku mengunjungi Rian di tempat kerjanya itu pada hari Jum’at pukul
lima sore. Saat itu adalah jam ia mendapat jatah istirahat satu jam dan aku
dalam perjalanan pulang.
Make up yang kugunakan sebenarnya tidak terlalu tebal –malah
kalau boleh kubilang itu hanya sisa make
up-, mengingat sudah seharian penuh aku mengenakannya. Namun sepertinya
sisa make up itulah yang membuatku
terlihat lebih tua dari usiaku yang sebenarnya. Sungguh menggelikan!
“Itu kebijaksanaan kantor. Aku harus melakukannya. Sejujurnya aku tak
pernah suka mengenakan make up itu.”
Rian hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasanku.
“Tapi syukurlah kalau ternyata umurmu masih dua puluh tiga. Setidaknya jarak
umur kita tak terlalu jauh,” katanya kemudian.
“Memangnya berapa umurmu?” Mendengar kata-katanya tersebut, spontan aku
bertanya.
Bukannya menjawab pertanyaanku, Rian malah beranjak dari tempat duduknya.
Kamera yang tadi berada di tangannya sudah dimasukkannya kembali ke dalam
sebuah tas yang sedari tadi tergantung di bahu kanannya.
“Itu rahasia. Ayo siap-siap. Bus kita sudah datang!” ucapnya kemudian.
***
Tak ada pembicaraan tercipta selama menit-menit awal keberadaan kami dalam
bus. Rian tampak sibuk kembali dengan kamera yang dipinjamkan kepadanya.
Sementara aku duduk diam sambil memandang ke arah jalan raya. Dari balik kaca,
bisa kulihat mendung yang menemani saat menanti bus beberapa menit sebelumnya
kini mulai berubah menjadi tetesan-tetesan hujan.
Berbeda dengan kondisi lainnya, berada di kendaraan saat hujan turun selalu
menimbulkan ketakutan tersendiri pada diriku. Jika hujan tersebut turun saat
aku sedang berada di halte bus, atau saat sedang menikmati secangkir cappucino bersama Rian, mungkin aku
masih bisa terlihat tenang dan menikmatinya. Namun di saat sekarang,
satu-satunya hal yang bisa kukatakan adalah rasa sesak nafas yang menguasai
rongga dadaku. Jika Rian sedikit berkonsentrasi, mungkin saat ini dia bisa
mendengar nafasku yang memendek.
Beberapa tahun sebelumnya, reaksiku bahkan lebih parah dari ini. Jika hujan
mulai turun, rasa dingin akan langsung merambat naik ke tubuhku. Semakin deras
hujan turun, semakin besar rasa dingin itu menguasaiku, membuatku tubuhku
menggigil seketika, bahkan sampai membuatku menangis. Jika sudah seperti itu,
biasanya mau tak mau sopir dari mobil yang kutumpangi akan menghentikan
mobilnya. Sopir yang baik hati akan dengan cukup sabar menungguku hingga cukup
tenang. Namun yang lebih sering terjadi adalah aku diminta turun dari mobil
mereka.
“Kau pasti merindukan ibumu,” Rian akhinya bersuara setelah hampir setengah
jam aku tak menunjukkan tanda-tanda memulai pembicaraan. Kurasa dia sudah mulai
bosan mengutak-atik kamera di tangannya.
Aku berpaling ke arahnya. “Kenapa kau bisa berkata begitu?” tanyaku
kemudian.
“Hujan biasanya membangkitkan kenangan kita akan seseorang. Dan untukmu,
aku yakin kehadiran hujan pasti akan membuatmu merindukan ibumu.”
Aku hanya tersenyum kecil mendengar penjelasan pemuda di sampingku ini. Kalau
boleh jujur, satu hal yang membuatku menyukai Rian adalah kemampuannya
menyimpulkan berbagai macam hal dengan bahasanya sendiri. Dia juga bisa melihat
hal-hal yang umumnya tidak bisa dilihat orang-orang.
Aku masih ingat bagaimana dengan mudahnya teman-temanku mengatakan bahwa
aku tak suka pada hujan karena melihat rona wajahku yang berubah saat hujan
turun. Beberapa yang lain bahkan mengira aku alergi air hujan hanya karena aku selalu
membawa jas hujan dan payung dalam tasku.
Rian adalah satu dari sedikit orang yang mampu menangkap arti lain dari
ekspresiku pada hujan. Bahkan tentang tentang kerinduan pada ibuku ini, tak ada
yang mengetahuinya selain diriku sendiri. Rian adalah orang pertama yang
mengatakan hal tersebut padaku.
“Jadi, apakah tebakanku benar?” Rian berkata lagi.
Untuk pertanyaannya tersebut, aku hanya bisa memberikan jawaban berupa senyuman
sambil kembali menatap rintik hujan dari balik kaca bus.
***
Setelah empat puluh lima menit berada dalam bus, akhirnya kami tiba di
tempat tujuan. Rupanya Rian mengajakku ke sebuah tempat wisata pemancingan yang
cukup terkenal di kota kami. Letaknya di pinggiran kota, dan selalu
direkomendasikan sebagai tempat pemancingan terbaik di kotaku. Seingatku,
terakhir kali aku ke tempat pemancingan ini adalah tahun lalu, saat kantor
mengadakan rekreasi bersama.
Setelah turun dari bus, kami terlebih dahulu menyetop angkot yang akan
membawa kami ke tempat pemancingan tersebut. Karena hari masih hujan,
kuputuskan untuk langsung mengenakan jas hujan sejak turun di halte. Rian hanya
bisa tersenyum kecil melihat kelakuanku tersebut. Ia sendiri langsung
mengenakan jaketnya begitu kami berada di angkot.
Begitu tiba di pemancingan, kulihat tak cukup banyak orang yang berada di
tempat pemancingan tersebut. Hanya ada lima atau enam panggung –tempat
pengunjung biasanya beristirahat sambil berbincang atau memancing- yang terisi.
Padahal biasanya hampir setiap akhir minggu tempat pemancingan ini dipenuhi
oleh pengunjung. Baik mereka yang ingin sekadar menikmati lezatnya ikan bakar
yang disediakan pemancingan tersebut, atau merasakan sendiri sensasi memancing
ikan dan memanggangnya sendiri.
Karena hari sudah cukup siang, Rian mengajakku makan siang terlebih dahulu.
Seekor ikan bakar lengkap dengan nasi dan lalapannya menjadi menu makan siang
kami kali ini. Jujur sempat terpikir di kepalaku bahwa yang kami lakukan ini
layaknya pasangan yang sedang berkencan. Namun dengan segera pikiran tersebut
kuenyahkan.
Usai makan, Rian kemudian meminta ijin untuk memulai kegiatannya. “Aku
tinggal sebentar nggak apa-apa ya, Na,” ujarnya sambil menggantungkan kamera ke
lehernya. Sebuah topi tampak menutupi kepalanya kali ini.
Aku hanya mengangguk sambil mengambil sebuah novel dari tas ranselku.
“Jangan khawatir. Aku juga sudah membawa teman kencan sendiri kok,” kataku,
yang membuat Rian tersenyum lebar.
Setelah Rian beranjak dari tempatnya, kuputuskan untuk membaca novel yang
kubawa tadi. Sayangnya tak sampai sepuluh menit, kegiatanku tersebut langsung
kuhentikan. Mataku kemudian lebih terfokus mencari sosok Rian yang saat ini
sedang sibuk dengan kameranya.
Ini adalah pertama kalinya aku melihat sendiri bagaimana Rian mengejar
hujan. Dari tempatku duduk, bisa kulihat Rian begitu menikmati kegiatan
memotretnya. Dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mengambil foto
berbagai macam objek dengan satu latar, hujan. Kadang Rian mengambil foto secara
sembunyi-sembunyi. Kadang ia meminta objek bidikannya untuk begaya. Ah,
sebegitu cintanyakah kau pada hujan, Rian? Tanyaku dalam hati.
Setelah kurang lebih satu jam “berburu”, Rian akhirnya kembali ke tempatku.
Topi dan jaket yang dikenakannya tampak sedikit basah. Seringai puas tampak di
wajahnya begitu menghempaskan tubuhnya di sampingku.
“Puas banget kayaknya.”
“Banget. Aku dapat banyak foto bagus hari ini. Kalau ditambah dengan
foto-foto yang lain kayaknya cukup untuk dipajang di pameran nanti.”
“Kau akan mengadakan pameran?”
“Bukan aku sendiri. Minggu depan kampusku mengadakan pameran. Salah satunya
adalah pameran fotografi. Aku sudah mendaftarkan diri.”
“Wow! Keren!”
“Siapa? Aku? Tentu saja.”
Aku hanya mendengus mendengar jawabannya tersebut.
“Oh, ya. Jangan lupa kau harus datang ke pameranku nanti. Kau kan belum
melihat foto-fotoku yang lain.”
“Minggu depan?”
“Yup!”
“Baiklah. Oya, kalau boleh tahu, kenapa kau sangat menyukai hujan?”
akhirnya kuputuskan untuk mengungkapkan pertanyaan tersebut pada Rian.
“Kau benar-benar ingin tahu?”
“Tentu saja!”
“Baiklah. Karena kau bertanya, akan kuberikan jawabannya.”
Sesudah mengucapkan kalimat tersebut, Rian kemudian mengambil nafas.
“Aku menyukai hujan karena dia mengobati kerinduanku pada ibuku,” jawabnya kemudian.
***
Satu minggu setelah “perburuan hujan” kami hari itu, kuputuskan untuk
memenuhi janjiku pada Rian. Pameran yang diadakan kampusnya tersebut sebenarnya
bukan hal yang asing bagiku. Ini adalah festival tahunan yang diadakan kampus
tempat Rian kuliah. Berbagai macam acara terangkum dalam festival tersebut.
Mulai dari festival musik, pameran, hingga kegiatan sosial. Beberapa tahun
sebelumnya, aku pun pernah terlibat dalam festival tersebut, meski hanya dengan
status seksi sibuk.
Sesuai permintaannya, aku datang ke pameran sekitar pukul 10 pagi. “Saat
itu aku masih cukup rapi, dan belum banyak pengunjung,” begitu katanya saat
kutanyakan alasan dari permintaannya tersebut. Saat aku tiba di stand
fotografi, tampak Rian sedang berbicara dengan beberapa orang temannya. Seperti
yang dikatakannya, penampilannya kali ini cukup rapi dengan kemeja biru tua dan
jeans hitamnya. Bahkan kalau boleh kubilang dia terlihat tampan. Ups!
Begitu melihatku, Rian dengan sopan berpamitan dengan lawan bicaranya.
Senyumnya tampak merekah saat berjalan ke arahku.
“Akhirnya kau datang!”
“Tentu saja. Aku sudah berjanji bukan?”
Rian hanya tersenyum mendengar kata-kataku.
“Foto-foto yang indah,” kataku lagi. Sebelum menemui Rian tadi aku sempat
melihat-lihat foto-foto miliknya yang menempel di dinding. Kurang lebih ada
tiga puluh foto. Berukuran 30x30 cm, dengan pigura berwarna hitam dan watermark nama Rian Perdana di bagian
kanan bawah. Semuanya foto tersebut bercerita tentang hujan.
“Semua tentang hujan?” tanyaku lagi.
“Ya. Seperti kataku, hujan mengobati kerinduanku pada ibuku.”
Aku tersenyum mendengar jawaban Rian. Masih teringat jelas di kepalaku
cerita yang diungkapkan Rian dalam perjalanan pulang dari tempat pemancingan
minggu lalu.
“Ibuku meninggal karena kecelakaan saat hujan,” begitu ia memulai cerita.
“Saat itu kami dalam perjalanan pulang dari sekolahku. Naik motor. Aku
masih kelas satu SD. Hujan lebat mengiringi perjalanan kami. Saat di jalan
raya, sebuah mobil menyerempet kami dari belakang. Motor yang dikendarai ibuku
oleng karenanya. Tubuhku kemudian terlempar ke trotoar, sedang tubuh ibuku ke
tengah jalan. Sebelum pingsan masih sempat kulihat sebuah mobil melintasi tubuh
ibuku.”
Terpana, mungkin kata itulah yang mampu menggambarkan perasaanku setelah
Rian menyeselaikan ceritanya hari itu. Tak ada kalimat yang sanggup keluar dari
bibirku. Sungguh aku tak menyangka kalau kami ternyata memiliki kisah yang sama.
Kehilangan yang sama. Itukah sebabnya mengapa kau bisa begitu mengerti
bagaimana perasaanku pada hujan? Tanyaku kala itu dalam hati.
“Shenna?” suara Rian mengembalikanku ke dunia nyata.
“Ya?”
“Kau sudah melihat foto favoritku?”
“Yang mana?”
“Ikut aku.”
Rian kemudian menggiringku ke salah satu foto yang terpajang di dinding. Seorang
gadis tampak berdiri di sebuah halte, menatap hujan dengan ekspresi yang sulit
diartikan. Kubaca judul di bawah foto tersebut, “Shenna: Gadis yang Merindukan
Hujan.”
25 Comments
Sekilas tertangkap jelas tokoh Rian sangat rindu akan ibunya yang meninggal ketika hujan, bagus sekali cerpenya aku mau lanjut membaca
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir, mbak :)
DeleteAku pernah sangat mencintai hujan. Cinta yang membutakan dan menggilakan. Ternyata memang segala yang berlebihan itu tidak baik. Sekarang aku mencintai hujan sewajarnya sama seperti aku mencintai angin yang pernah mengibarkan kerudung putihku di tepi pantai pada suatu hari.
ReplyDeleteEh..mau nanya. Itu kecelakaan ibunya Rian dan Shenna tu kecelakaan yang sama kah? Atau aku yang salah paham..hehe.
Antung...ditunggu cerpen terbarumu.
Cerpennya kereeen....
ReplyDelete#jd penyemangat diri yang udah lama banget gak pernah bikin cerpen lagi. Huhuhu...
Makasoh sudah membaca :)
DeleteBtw, gak bikin lanjutannya kah mbak? hehehe
DeleteNice, Mbak.
ReplyDeleteMakasih :)
DeleteBersambung kah mba?? Atau sudah ending dengan pernyataan implisit Rian? Kereen euy nulis cerpennya. Semoga bisa nular ke aku, hehe
ReplyDeleteNggak ada sambungannya sih sampai sekarang. Hihi
DeleteMba...ceritanya bagussss... Alurnya ga gampang ditebak.
ReplyDeleteSukaaa bacanya. ����
Makasih sudah mampir, mbak :)
DeleteMb antung bagus bgt cerpennya.. Ak tangkep kayaknya it kecelakaan yg sama ya? Kok jd pngen nulis ginian jg.. Tp blm cukup skill.. Wkwk..
ReplyDeleteAku baca berulang-ulang lho, Mbak. Bagus banget alurnya ngalir. Huwaaaaaa moga2 ketularan skill nulisnya Mbak Antung. ><
ReplyDeleteMakasih, leha. Doakan aku bisa nulis cerpen lagi ya. He
DeleteAku selalu suka baca blgnya blgnya mba Antung. Alurnya jelas dan mudah dipahami.
ReplyDeleteWah makasih yaa :)
DeleteAku selalu suka baca blognya mba Antung. Alurnya jelas, ceritabga mudah dipahami dan banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik
ReplyDeleteMakasih, mbak :)
DeleteHalo Mba Antung.
ReplyDeleteNggak tau kenapa suka banget dengan kutipan ini, "Kau mencintai sesuatu, namun kau tak bisa berdekatan dengannya. Pasti sangat menyiksa." Aaaaakkk.... *Lari ke tengah hujan* hihi
Makasih sudah mampir ya :)
DeleteRomantis sekali moment saat hujan. Aku pun tiap hujan datang selalu merasa jd lebih melankolis. Tiba-tiba rindu, dan merenungi banyak hal. Lanjutkan mba ceritanya..
ReplyDeleteHujan memang auranya romantis ya :)
DeleteHarusnya ada foto Shenna yang sedang memandang hujan utk melengkapi cerita. Bagus banget ceritanya, sempat baper bacanya. Rian keren ya, karakternya kuat.
ReplyDeleteIya nih nggak ada fotonya. Hihi
Delete